Cerpen: Pakde dan Kata Cuma

321

Boleh juga Si Bambang itu, meski hanya jebolan sekolah kejuruan tapi ia bisa mengajari anak-anak desa ini mengaji. Ya, walau pada kenyataannya anak-anak yang diajarinya hanya enam orang namun lumayan. Sepertinya banyak penduduk desa yang ragu untuk mengizinkan anaknya belajar mengaji dengannya. Ya, meski lagi tidak dipungut bayaran.

“Saya duluan ya, Mbang, Assalamualaikum,”

“Oh iya, Pakde. Hati-hati, Waalaikumussalam…,”

Tepat di saat aku keluar masjid, cempreng bocah-bocah itu terdengar. Melantunkan doa sebelum belajar.

“Lumayanlah, Mbang, mengimami shalat, mengajar ngaji, ya lumayanlah untuk anak yang cuma tamatan SMK,” batinku.

Kalau sudah malam seperti ini, apalagi yang bisa dilakukan Si Bambang itu selain berdiam diri, mengajar ngaji di masjid? Kalau orang yang sekolahnya tinggi seperti Gunawan kan banyak kerjaannya. Dulu, waktu aku ke rumahnya untuk mengundang ayahnya, ia sibuk sekali dengan sesuatu yang namanya laptop kalau tidak salah. Matanya seperti tidak mengedip dan tangannya terus-terusan berada di alat itu dengan memencet-mencet tombolnya secara cepat. Ah! Bambang itu memang bukan levelnya Gunawan.

“Assalamualaikum, Pakde!”

“Waalaikumsalam …,”

“Wei, kamu toh, Gun. Dari mana?”

“Ini, dari beli kertas di tokonya Pak Haji di desa sebelah, mau nge-print tapi habis kertas,”

“Oh iya-iya,”

“Mari, duluan, Pakde!”

Belum tiga meter motornya dilajukan, aku langsung teriak memanggilnya,

“Hei, Gun, aku tak kau ajak sekalian naik motormu?”

“Aduh Pakde, maaf sekali, lupa. Hehe,” jawabnya cengar-cengir.

“Ah, tidak apa-apa, Gun. Aku tahu kau sibuk sekali, sehingga aku yang rumahnya tak terlalu jauh dengan rumahmu saja kau sampai lupa,” kataku sambil senyum.

“Yaudah, ayo Pakde!”

*** Berlanjut ke halaman 3…

Tinggalkan Komentar Anda