Wawancara Imajiner Dengan Ahok (3)

232
Wawacara Imajiner Dengan Ahok (3)
Bambang Budianto (kiri), Ahok (kanan).

Saya : Sebelum menjawab, perkenankan saya bertanya dulu kepada pak Ahok,  apa sebenarnya yang menjadi motif utama pak Ahok merasa perlu penjelasan tentang salam saya itu, begitu istemewakah ? atau justru salam itu merugikan aqidah pak Ahok ?

Ahok : Oh bukan, bukan. Bukan soal merugikan aqidah atau merugikan apapun bagi diri saya, bukan. Saya hanya meyakini pasti mas Bambang punya alasannya dan saya tertarik mendengarnya jika ada. Kalau tidak ada atau mas Bambang keberatan menjelaskan ya gak apa-apa kita bahas yang lain saja.

Saya : Tentu ada alasannya, meskipun alasan saya tidaklah berlaku umum. Karena alasan yang saya gunakan bukanlah didasari dalil-dalil leterlej, tapi lebih didasarkan pada hasil telaah pemikiran dari beberapa nara sumber terutama kajian-kajian yang bersifat kontekstual. Tokoh tokoh seperti Cak Nun dan mereka yang sealiran pemikiran dengan beliau mungkin bisa dibilang yang mewarnai pola pikir saya.

Baiklah akan saya jelaskan ke pak Ahok, tapi ingat ini bukan fatwa. Maksud saya pada tataran implementatip, penjelasan ini lebih tertuju pada diri saya pribadi dan pak Ahok sebagai orang yang ingin tahu penjelasan saya, jadi tidak berlaku umum, hanya untuk kita berdua.

Kenapa ini saya sampaikan, saya takut kelak pak Ahok menjadikan hasil diskusi ini sebagai sisipan sambutan politik atau pidato apapun yang justeru bisa jadi runyam. Sebab jika kerangka pikir seperti yang akan saya jelaskan ini dipakai pak Ahok untuk konsumsi publik, pak Ahok bisa kembali terjerat delik penistaan agama lagi, kecuali jika politik SARA di republik ini sudah benar benar diharamkan.

Ahok : Iya iya saya paham. Dua peristiwa besar menyangkut SARA sepanjang karier politik saya, yakni saat di belitung dan terahir di pilkada Jakarta kemarin, cukup membuat saya mengerti seperti apa konstelasi politik negeri ini sesungguhnya. Mas Bambang jangan terlalu hawatirkan sikap saya, silahkan teruskan penjelasannya.

Saya : Baiklah pak Ahok. Jadi begini, salam itu bagi saya pernyataan do’a sekaligus komitmen janji benar benar melaksanakan makna yang terkandung dalam do’a tersebut.

Kalau saya ucapkan Assalamu’alaikum kepada pak Ahok, itu artinya saya sedang mendo’akan keselamatan bapak sekaligus menyatakan bahwa kehadiran saya tidak akan mengganggu bapak. Komitmen seperti ini saya rasa diterima oleh semua agama, termasuk Islam yang saya imani. Islam menganjurkan berdo’a untuk kebaikan, dan tidak untuk keburukan orang lain.

Ahok : Tapi saya kan orang kafir yang menurut pandangan “keyakinan” mas Bambang tidak berhak berbuat kebaikan dan menerima kebaikan apapun, kecuali hanya akan sia-sia di hadapan Tuhan. Atau bahkan mas Bambang bisa berdosa lantaran mengucapkan salam kepada orang kafir seperti saya ini. Bukankah begitu ?

Saya : Nah ini yang perlu diluruskan. Memangnya yang ngatur pahala-dosa itu siapa ? yang mengetahui seseorang itu kafir atau bukan, itu siapa ? tidak satupun manusia bisa mengetahui kekafiran seseorang kecuali Tuhan. Jikapun ada orang yang menunjuk hidung mengkafir- kafirkan orang lain, maka saya pastikan dia mabuk agama atau mabuk pesanan sponsor berbau politik. Atau bisa saja dia lagi kehilangan cintanya, lalu dihinggapi penyakit stres berat.

Jadi kafir itu menurut saya lebih tertuju pada sifat, karakter dan kelakuan, dan bukan pada KTP atau asesories duniawi lainnya. Perlu pak Ahok ketahui bahwa Tuhan saya itu sangat amat maha pengasih dan penyayang. Jika ada hamba-Nya (siapapun manusianya) yang berjalan menuju kebaikan-Nya, maka Dia akan berlari mendekat, merengkuh dan mendukungnya (baca : meridhoi). Tuhanku juga Dzat yg paling pemaaf dan pemberi ampunan. Meski sebesar gunung dosanya, bahkan kafir sekalipun, bisa saja dikemudian hari mendapat hidayah dan ampunan-Nya. Itu sebabnya Tuhanku berpesan kepada hamba hamba-Nya untuk tidak  merasa paling suci dan paling benar.  Karena yang tau siapa yang benar diantara kalian hanyalah Aku. Begitulah dalam firman-Nya.

Kembali pada pertanyaan kenapa saya mengucapkan salam kepada pak Ahok ? Jawabnya, pertama : karena saya tidak punya persepsi pak Ahok sebagai orang kafir. Pun saya tidak berani menjerumuskan prasangka ke arah itu karena jelas bukan hak saya. Kedua : Dengan salam itu saya sedang berjanji kepada Tuhan bahwa kedatangan saya bukan untuk mengancam keselamatan pak Ahok, tapi demi “hablum minannas” membangun hubungan baik antar sesama manusia, menabur kasih sayang. Dan dengan komitmen itu saya berharap mendapat “Rahmatullah Wa Barokatuhu”, yakni kasih sayang dan berkah dari-Nya. Jadi implikasinya lebih tertuju pada diri saya pribadi dengan Tuhan yang saya sembah dan bukan untuk pak Ahok. Bahwa kemudian pak Ahok dapat apa atau tidak dapat apa-apa dari salam saya, itu bukan urusan saya. Yang pasti malam ini saya senang pak Ahok sudah sudi makan bakpia murahan dari kampung dan menerima kehadiran saya.

(bersambung : Wawancara Imajiner Dengan Ahokn (4))

Penulis : Bambang Budiyanto

Tinggalkan Komentar Anda