Kejahatan Seksual Indikasi Rapuhnya Pendidikan Agama Dalam Keluarga

784
Kejahatan Seksual Indikasi Rapuhnya Pendidikan Agama Dalam Keluarga
Kejahatan Seksual Indikasi Rapuhnya Pendidikan Agama Dalam Keluarga. (Ilustrasi)

Sebatin.com – Maraknya kejahatan seksual belakangan ini menohok banyak pihak, terutama pemerintah selaku institusi yang paling bertanggung jawab mengayomi rakyatnya. Meski pemerintah telah mengambil tindakan tegas menghukum berat para pelaku, serta memberlakuan Undang-Undang kebiri sebagai tindakan preventif, tetap saja belum cukup dan masih menggelisahkan masyarakat.

Kejahatan seksual yang secara kasatmata mengintrodusir kebrutalan dan kebiadaban pelaku, menegaskan kepada kita bahwa persoalan ini membutuhkan penanganan simultan. Prilaku sadisme pemerkosa terhadap korbannya mengindikasikan kejahatan seksual tidak murni disebabkan oleh nafsu seksual saja, tapi sebab lain yang lebih kompleks dan krusial.

Contoh, kejadian anak diperkosa orang tua kandung, cucu diperkosa kakeknya, dan adik diperkosa kakak kandungnya, adalah fakta betapa rumitnya masalah kejahatan seksual di negeri ini. Memposisikan satu atau dua institusi sebagai pihak yang bersalah, tentulah bukan sikap yang bijak. Diperlukan pikiran jernih dan langkah konprehensif semua pihak, agar ditemukan solusi efektif untuk mengatasinya. Kita perlu mundur selangkah dan merenung sejenak, menarik benang merah asal mula munculnya sumber masalah, lalu mengurai satu per satu dan merajutnya kembali menjadi langkah-langkah konstruktif.

Satu instrument penting yang tak boleh dilupakan dan akan kita bahas dalam tulisan ini adalah institusi keluarga. Sebagai unit satuan terkecil di masyarakat, keluarga memegang peranan kunci dan menjadi sumber awal bagi munculnya sebuah prilaku. Pemahaman akan adanya Tuhan, sikap baik-buruk, etika dan moral, serta kasih sayang, semuanya disemai sejak dini di dalam keluarga. Demikian pentingnya fungsi keluarga ini, sampai agamapun perlu mengatur pokok-pokoknya. Mari kita fahami pesan Luqman kepada anaknya berikut ini:

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. ‘Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar’” (QS. 31:13).

Dalam kehidupan di masyarakat, mungkin ayat tersebut sudah sangat familier, hafal bunyi, dan artinya sekaligus. Tapi pada praktik keseharian, bisa jadi kurang fokus penerapannya. Banyak orang tua (keluarga) lebih membebankan pengenalan Tauhid ini pada lembaga pendidikan formal dan non formal yang ada. Padahal dari segi proporsi waktu dan kedekatan emosional, keluarga lebih besar pegang kendali. Sampai di sini, efektivitas pendidikan agama antara lembaga formal/non formal dengan lembaga keluarga, perlu diposisikan secara tepat dan proporsional, terutama pendidikan “Ketauhidan”. Dalam konteks inilah urgensi pembahasan tulisan tersebut dituangkan. Selanjutnya untuk tidak melebar, uraian dan kupasan akan lebih difokuskan pada pendidikan “Ketauhidan” dalam keluarga dengan meletakkan QS 31:13 sebagai landasan pijak.

Hal yang utama dan menarik di cermati pada ayat di atas adalah bahwa Allah telah menegaskan peletakan dasar dasar ketauhidan anak, lebih dibebankan pada orang tua, dan bukan orang lain. Ini prototype pendidikan agama dalam keluarga versi Allah yang tidak mungkin keliru.

Masih soal tauhid, Luqman melanjutkan nasehat kepada anaknya,

“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.“ [QS. 31:16]

Belajar dari dua ayat dalam surat Luqman tersebut, bisa dipahami bahwa ketauhidan adalah pondasi utama yang wajib ada pada setiap institusi keluarga, karenanya wajib pula diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. Kelalaian keluarga dalam menanamkan ketauhidan pada anak-anaknya, akan berakibat fatal, tidak saja bagi keluarga itu sendiri, tapi juga untuk masyarakat sekitarnya. Sebab, ukuran akhlak seseorang sangat ditentukan oleh seberapa kuat tingkat ketauhidannya. Semakin lemah tauhidnya, semakin labil pula akhlaknya.

Menengok realitas kejahatan seksual yang semakin miris dan memilukan, mengharuskan kita kembali sadar dan menyadari ada yang salah dalam pendidikan agama keluarga kita. Terutama sekali pendidikan ketauhidan terhadap anak-anak. Banyak orang tua yang lebih mengutamakan kecerdasan inteligensia anak (IQ) dan kurang memperhatikan kecerdasan emosional (EQ). Padahal kecerdasan EQ ini sumber utama pembentuk akhlak yang lahir dari sifat hanief (lurus) seseorang. Kecerdasan otak memang penting, tapi tanpa kecerdasan nurani, hanya akan melahirkan manusia-manusia cerdas tak bermoral. Karenanya, ruang kecerdasan nurani (EQ) anak kita, sedini mungkin harus kita isi dengan pengenalan ketauhidan.

Penulis: Drs. Bambang Budiyanto

Tinggalkan Komentar Anda