Metode Berkarya yang Mudah Diterapkan

357
Metode-Berkarya-yang-Mudah-Diterapkan-00
Ilustrasi esai film yang dialih wahanakan menjadi buku anak-anak. (by : Rian Gusman Widagdo)

Sebatin.com – Kita sering menjumpai, menonton, dan menikmati film yang diadaptasi atau ditransformasikan dari sebuah novel. Transformasi itu dikenal dengan istilah “ekranisasi” (dari bahasa Prancis; écran; layar) atau, istilah lainnya, “filmisasi”. Novel-novel yang difilmkan di antaranya bisa kita temukan : “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, karya Hamka digarap oleh Sunil Soraya (Soraya Intercine Film), “5 CM”, karya Donny Dhirgantoro disutradai oleh Rizal Mantovani, “Ayat-Ayat Cinta”, karya Habiburrahman El-Shirazy digarap Hanung Bramantyo, “Laskar Pelangi”, dari Andrea Hirata digarap oleh Riri Riza, “Jilbab Travellers : Love Sparks in Korea”, karya Asma Nadia digarap oleh Rapi Film, dan masih banyak lagi contoh karya novel lain yang difilmkan.

Transformasi tersebut sering pula terjadi sebaliknya, dari film menjadi novel (novelisasi) : “Biola Tak Berdawai”, dinovelkan oleh Seno Gumira Ajidarma, “Bangsal 13”, dinovelkan oleh FX Rudi Gunawan, “Brownies”, dinovelkan Fira Basuki, “Alexandria”, dinovelkan Salman Aristo, “Love is Cinta”, dinovelkan Moammar Emka, dan sederet contoh film lain yang dinovelkan oleh para penulis.

Dari karya yang demikian itu, kita sering mendengar berbagai tanggapan dari para penonton yang sebagian merasa kecewa karena menurut mereka film hasil (ekranisasi) tersebut tidak lebih bagus dari novelnya. Anehnya pula, sebagian dari mereka yang menonton filmnya dahulu kemudian membaca novelnya (hasil novelisasi) mengatakan bahwa filmnya lebih bagus dan lebih menyentuh daripada novelnya. Nah, yang jadi pertanyaan di sini adalah, apakah hasil transformasi itu tidak lebih bagus dari karya aslinya (sebelumnya) ?

Menurut Pamusuk Eneste, transformasi dari novel ke film mau tidak mau mengalami perubahan, penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi. Maka, sebagai penikmat karya, yang perlu diketahui bukan soal bagus tidaknya hasil tranformasi itu, melainkan medium tuang karya tersebut. Novel menggunakan medium bahasa/kata-kata, sedangkan film bermedium suara dan gambar bergerak (audiovisual) yang menghadirkan suatu rangkaian peristiwa. Kita tidak bisa buru-buru memberi penilaian terhadap sebuah karya dan hasil transformasinya sebelum memahami medium masing-masing dan proses perubahan yang terjadi.

Saya tidak akan terlalu jauh membicarakan tentang ekranisasi maupun novelisasi. Mari kita lihat lebih luas tentang hal ini. Selain transformasi novel menjadi film atau sebaliknya, sebenarnya masih banyak sekali transformasi lain yang barangkali tidak disadari telah hadir di sekitar kita. Sapardi Djoko Damono pernah memberikan satu penjelasan dalam kuliah wawasan ilmu sosial dan budaya. Ia memilih istilah “alih wahana” bagi proses transformasi karya satu ke yang lainnya. Menurutnya, istilah tersebut lebih luas cakupannya daripada istilah “ekranisasi” tadi.

Alih wahana ini secara tidak langsung dan tidak disadari oleh masyarakat, telah diterapkan dalam berbagai proses transformasi. Kalau ditelusuri lagi, kita akan menemukan dengan mudah contoh-contoh alih wahana karya seni yang sudah terealisasi. Di Temanggung, kampung halaman saya, bisa kita lihat, misalnya, kesenian jaran kepang, topeng ireng, atau kubra siswa yang merupakan hasil alih wahana dari sastra ke tari, pertunjukan dramatisasi dan musikalisasi puisi oleh para penyair Temanggung yang merupakan alih wahana dari teks puisi ke musik dan drama, pernah pula saya lihat seorang pelukis muda mengalihwahanakan patung di depan Pendopo Pengayoman, Temanggung, menjadi sebuah lukisan yang menarik, dan lain-lain.

Pada beberapa kesempatan mengisi kelas menulis, baik secara offline maupun online, saya menerapkan cara ini untuk merangsang para peserta agar bisa dengan mudah menangkap ide yang nantinya akan dituangkan dalam sebuah tulisan. Terbukti, cara ini efektif bagi mereka. Sebagai penerbit, bekerja sama dengan beberapa komunitas seni-budaya, saya telah menerbitkan beberapa buku sastra berbasis alih wahana tersebut.

Alih wahana ini tidak kemudian membatasi pada transformasi karya seni saja, tetapi meluas ke karya lainnya dan ternyata mendatangkan manfaat yang lebih baik. Kita lihat saja, salah satunya, pengusaha/perajin kaus bertema lokal yang menjadikan bangunan bersejarah, bahasa, makanan-makanan khas, atau tempat-tempat wisata menarik di Temanggung sebagai inspirasi alih wahana ke produk kaus mereka. Produk tersebut kemudian beredar bahkan sampai ke seluruh penjuru negeri dan luar negeri dibawa oleh para perantau asal Temanggung saat berkesempatan pulang kampung. Mereka memakainya sebagai pengobat rindu keluarga dan kampung halaman ketika berada nun jauh di perantauan. Dari sini ekonomi dan pariwisata Temanggung ikut terangkat, daerahnya dikenal, produknya terjual.

Dalam bidang lain, pendidikan misalnya, metode alih wahana ini bisa membantu para guru untuk merangsang para siswa dalam membuat karya apa-pun bentuknya. Medium yang digunakan bisa sangat bervariasi. Kadang siswa membutuhkan ruang gerak bebas yang lebih dari sekadar ruang segi empat berbatas dinding kelas yang pengap dan membuat ngantuk ketika mendengar penjelasan guru. Mereka butuh hal baru yang bisa ditransformasikan ke dalam bentuk lain sesuai imajinasi dan keinginan. Selama itu positif, guru wajib mendukung.

(Asrul Sanie / Temanggung – Jateng)

Tinggalkan Komentar Anda