Cerpen: Orang Boje

292
Cerpen: Orang Boje
Ilustrasi: Arifan - Sebatin.com

Sebatin.com – KERETA itu terus melaju.

Seorang pemuda menyandarkan kepalanya ke sebelah kanan, dinding kereta kelas ekonomi. Kelasnya orang-orang memprihatinkan. Jelas, faktanya semua muka di gerbong itu kusam dan kulit-kulitnya seperti turun, seolah tanah yang longsor akibat hujan. Nyaris bisa dikatakan tidak ada orang bermuka ceria, atau setidaknya datar di gerbong itu. Apalagi pemuda itu, ia dihimpit oleh wanita setengah baya yang memiliki badan tiga kali lebih besar darinya. Wanita tua itu sedang tidur dengan amat pulasnya.

“Tak tahu diri!” batin pemuda itu.

Kereta itu terus melaju.

Pemuda itu dalam perjalanan pulang. Ia memilih kereta malam agar bisa tenang dan tidur di perjalanan. Namun, nyatanya kereta telah melaju sejak empat jam yang lalu dan ia masih terjaga. Sementara waktu sudah berganti hari. Jarum jam di pergelangan tangan wanita tua yang tak henti-henti menghimpitnya itu adalah buktinya.

Selama enam hari pemuda itu menginap di rumah temannya sewaktu kuliah di Unsri dulu. Ia tidak ingin menggenapkan hitungan menjadi tujuh hari, seminggu. Ia tidak ingin jadi bahan orang-orang. Karena itu ia putuskan untuk pulang.

Perjalanan baru setengahnya. Butuh empat jam lagi untuk sampai di kota kecilnya, Lubuk Linggau. Dulu pemuda itu selalu berkata, apa yang bisa diharapkan dari sebuah kota kecil? Kota Kabupaten? Pemuda itu beranggapan bahwa kesuksesan hanya bisa diraih di kota besar, setidaknya kota Provinsi. Namun zaman sekarang, bahkan mencari uang sepuluh ribu saja sulit. Termasuk di kota Provinsi, Palembang, yang notabene termasuk salah satu kota besar di Indonesia.

Ijazah S.1 fakultas ekonomi dari sebuah universitas negeri pun ternyata bukan jaminan untuk mudah mendapatkan pekerjaan di negeri ini. Bukan hanya beberapa hari kemarin pemuda itu mengikuti job fair dan menyebarkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Tapi telah berkali-kali, namun hasilnya nihil. Nol besar.

Kereta itu terus melaju.

Pemuda itu benar-benar bingung. Sudah dua bulan ini ia rasa kepalanya seperti mau pecah. Ia belum juga bekerja padahal ia sudah lulus sejak tujuh bulan yang lalu. Bapaknya, Pak Tri, di-PHK oleh pabrik tempatnya bekerja karena ikut-ikutan korupsi. Pemuda itu shock! Lebih dari sebulan ia uring-uringan, seperti tidak bisa menerima kenyataan. Seperti tidak bisa menerima nasib, atau mungkin takdir. Namun, akhirnya ia bangkit. Mau tidak mau, ia harus berjuang untuk membantu keluarganya. Dua adiknya masih kecil-kecil dan harus sekolah.

Tinggalkan Komentar Anda